Rabu, 15 Juni 2011

Ikhtisar Filosof dan Pemikiran Politik

Ikhtisar Filosof dan Pemikiran Politik

Ikhtisar Pemikiran Politik Islam

Zaman

Ikhtisar Pemikiran Politik Non Islam

Zaman Klasik

Yunani Kuno


Pemikiran Politik Socrates


Pokok - Pokok Pemikiran Socrates :

  • Tujuan hidup manusia adalah memperoleh kebahagiaan (eaudaemonia)
  • Kebahagiaan dapat diperoleh dengan keutamaan (arate)
  • Untuk mengetahui apa dan bagaimana arate kita itu, harus kita ketahui dengan pengetahuan (episteme)
  • Jadi keutumaan (arate) adalah pengetahuan (episteme)

Dalam kajian politik Socrates lebih perhatian kepada kemasyarakatan dan kenegaraan warga Yunani. Inti dari kajian politik nya adalah :

  • Negara atau polis sering mengalami pergantian bentuk pemerintahan, dari monarki ke aristokrasi, dan dari tirani ke demokrasi,
  • Kajian masalah-masalah politik ( terutama di anthena ) lebih mengutamakan dan diletakkan dalam kerangka dialog dan argumentasi bukan pada perang atau skekerasan senjata,
  • Negara identik dengan masyarakat , masalah pergaulan bersama dan kehidupan adalah masalah negara, politik mencakup segenap kehidupan manusia,

Perhatian terhadap masalah umum dan bersama relative mendapatkan perhatian yang besar, karena aktivitas masyarakat lebih banyak di luar rumah atau tempat umum.


Pemikiran Politik Plato

Pemikiran-pemikiran plato :

Kitab Politeia membicarakan masalah manusia sebagai suatu keseluruhan, segala aspek diri manusia itu dalam hubungannya dengan masyarakat, malah dalam hubungannya pula dengan jagat raya. Kitab tersebut menguraikan ajaran-ajaran praktis dalam pengertian ajaran-ajaran yang perlu dan harus diwujudkan. Dalam Kitab tersebut membicarakan empat masalah besar :

· Metafisika

Mencari dan membiarkan apa sebenarnya hakikat segala yang ada.

· Etika

Tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya

· Pendidikan

Pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup ini.

· Pemerintahan

Pemerintahan yang seharusnya, yang ideal.

Kitab lain yang ditulis Plato adalah Kitab Hukum (Nomoi), yang tidak menempatkan penguasa diatas hukum melainkan sebagai pengemban dan penjaga hukum itu sendiri, sebagai hambanya. Hukum menurut Plato sebagai sesuatu yang menangani segenap segi hidup, termasuk segi-segi moral dan hukumpun merupakan suatu cara pendidikan yang pelaksanaannya lebih tergantung pada kesadara dan bukan pada hukuman.


Pemikiran Politik Aristoteles

Menurut Aristoteles ada dua sebab sehingga milik menjadi amat penting dalam bernegara, yaitu :

  • Milik kemungkinan seseorang untuk lebih mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah umum, terutama tentang masyarakat. Milik memungkinkan seseorang mempunyai waktu senggang yang disebut leisure, sebagai syarat bagi seseorang untuk dapat melakukan fungsinya sebagai warga Negara.
  • Milik adalah alat dan bukan tujuan Pandangan Aristoteles terhadap milik itu dikembangkan pada konsisten Negara yang ideal yaitu campuran dari oligarki, yaitu pemerintahan orang-orang tertentu berdasar pada harta, darah atau turunan, kedudukan, pendidikan dan sebagainya.

Karya Aristoteles yang berjudul politics, dalam buku ini Aristoteles mengungkapkan bahwa setiap orang yang mendirikan negara adalah dermawan terbesar. Negara adalah persatuan keluarga-keluarga, desa-desa dalam kehidupan sempurna. Ada tiga macam pemerintahan yang baik yaitu monarki, aristokrasi, dan pemerintahan konstitusional (atau polity ) dan ada tiga macam pemerintahan yang buruk yaitu tirani, oligarki, dan demokrasi. Juga ada banyak bentuk pemerintahan campuran yang bersifat tengah-tengah.

Monarki lebih baik disbanding aristokrasi, dan aristokrasi lebih baik ketimbang polity. Namun bentuk pemerintahan yang terbaik adalah bencana yang terburuk. Demokrasi adalah pemerintahan yang orang banyak, yang berdasar pada jumlah. Dasar sosial konstitusi yang ideal adalah adanya kelas menengah yang luas, lebih luas daripada kelas mewah, tetapi lebih luas dari kelas yang miskin.


Romawi Kuno


Ambrosius (339 – 397 M)

Santo Ambrosius segera dan dengan tegas menghentikan ajaran sesat di Milano. Sesungguhnya ia bergerak dengan lebih realistik dan penuh pertimbangan, karena ia tidak punya banyak masalah dengan Arianisme yang kuat pengaruhnya khususnya di antara kaum gerejawan dan kalangan atas masyarakat.

Ia menerapkan pengetahuannya yang baru sebagai pengkhotbah, sambil memusatkan perhatian pada eksegesis Perjanjian Lama, dan kecakapan retorikanya yang mengesankan Augustinus Hippo, yang saat itu menganggap remeh para pengkhotbah Kristen.


Agustinus (354 – 430 M)

Agustinus menulis buku yang berjudul De Civitate dei yang berarti The city of God. Dalam bahasa latin, civitas berarti kota tetapi pada masa agustinus dia berarti negara atau disebut masyarakat. Buku ini memuat pandangan agustinus tentangfilsafat sosial Kristen, berdasarkan kenyataan inilah dapat disebut bahwa metode berfikir agustinus bukanlah metode berpikir ilmiah, sebab ia menyandarkan seluruh filsafat sosialnya dari alkitab khususnya kitab perjanjian lama dan ajaran-ajaran gereja. Sekalipun demikian, agustinus telah menunjukkan suatu pemikiran filsafat yang sangat baik, dan menguraikan sejarah perjalanan umat manusia yang didukung oleh alkitab.

Metode berpikir agustinus bertitik tolak dari agama dan ilmiah, dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana menilai agama secara benar dan secara sosial. Metode berpikir demikian inilah member pengaruh besar terhadap gereja pada abad pertengahan, dan juga gereja katolik dikemudian hari. Bahkan member pengaruh pada banyak gereja yang menganut aliran protestan.


Gregorius (330 – 390 M)

Gregorius adalah Paus pertama yang memiliki latar belakang biarawan. Gregorius dianggap baik sebagai Bapa Gereja Latin terakhir dan sebagai seorang Doktor Gereja.


Piagam Madinah

Nabi memproklamirkan Islam sebagai agama yang dimulai dari kata ”tidak”. Hal ini terlihat dalam kalimat persaksian (syahadah) ”tidak ada tuhan”. Karena Islam hadir sebagai antitesis dari sistem kepercayaan dan struktur sosial politeistik, Islam tidak pernah lepas dari konflik. Bahkan, pada awalnya Islam tidak mampu berkembang secara signifikan di Mekkah karena perlawanan dari masyarakat politeis Mekkah. Konflik antara umat Islam awal dengan masyarakat politeis Mekkah disebabkan ajaran Islam yang menawarkan sebuah sistem nilai, kepercayaan, dengan segenap implikasi sosialnya dianggap masyarakat politeis Mekkah sebagai bentuk ”pemberontakan” bukan hanya terhadap sistem kepercayaan lama tetapi juga mengancam struktur sosial.

Madinah pun tengah mengalami konflik panjang. Peperangan dan konflik di Madinah itu berlangsung selama 120 tahun. Kondisi tersebut membuat masyarakat Madinah lelah dan penat dengan konflik. Titik jenuh berkonflik hingga frustasi sosial tersebut memunculkan mimpi-mimpi mesianistik berupa harapan warga Madinah akan datangnya sang penyelamat sebab melalui dirinya sendiri dan kekuatan sosial yang ada, Madinah tidak mungkin dapat menciptakan perdamaian dan stabilitas. Karena peperangan tersebut, Madinah mengalami stagnasi ekonomi yang berkesinambungan, bahkan menimbulkan konflik-konflik baru. Pada saat periode kritis inilah muncul ”orang asing” yang menunjukkan kepada kelompok-kelompok tersebut bagaimana hidup berdampingan secara damai dalam tataran kemuliaan, mengundang setiap individu untuk hidup menurut dasar-dasar hukum, dengan prinsip ”kamu adalah apa adanya kamu” (you are what yuo are). Nabi menjadi ”pihak luar” yang mencoba melakukan proyek pembentukan masyarakat yang damai di Madinah.

Maka dibuatlah Piagam Madinah (bahasa Arab: shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.

Zaman Pertengahan

(476M-1453M)

Imperialisme Gereja (910M-1378M)

Kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai warga negara yang baik kaum muda Katolik (umat Katolik) memiliki kewajiban ikut terlibat dalam memperjuangkan kebaikan umum (Bonum commune) yang merupakan tujuan politik

Terdapat Nilai-nilai itu adalah:

1. Inklusif (non diskriminastif)

2. Preferential Option for the poor.

3. HAM.

4. Solidaritas dan subsidiaritas.

5. Bonum publicum/ Bonum commune.

Nilai – nilai tersebut merupakan dasar visi politik umat Katolik yaitu membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum terutama kelompok masyarakat yang dirugikan.


Al Farabi (870 M)

Al Farabi menyatakan bahwa terdapat dua sintesis konsep pemikiran politiknya. Yang pertama adalah konsep tentang Kota utama (Al-Madinah al-Fadhilah) dan konsep demokrasi dalam filsafat politik al-Farabi. Jejak pemikiran al-Farabi, tentang kota utama, sebenarnya dapat kita temukan pada Republic karya Plato. Istilah dan konsep kota yang digagas keduanya mirip, bahkan dapat dikatakan identik. Al-Farabi menyebut kota impiannya itu sebagai al-Madinah al-Fadilah. Sedangkan Plato menyebutnya Kallipolis (kota yang cantik atau fair)

Empirisme Rasionalisme Averois (1123 M – 1198M)

Averroisme adalah ajaran yang dikemukakan oleh Ibn Rushd dan para pengikutnya, sudah trend di abad Pertengahan. Ibn Rusyd adalah tokoh Islam yang sangat diakui baik di negara Barat maupun Timur. Sumbangan yang nyata adalah kritik terhadap dominasi Katollik Roma dalam peradaban Eropa. Bagi dia negara berada di bawah dominasi gereja, sehingga cenderung tida merdeka. Para pendukung ajaran ini mempertahankan bahwa dunia adalah kekal dan jiwa mati, dan menegakkan teori kebenaran ganda.


Al Farabi (975 M – 1059M)

al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, yakni:

· Pertama, negara utama (al-madinah al-fadhilah). Negara utama, sebagai suatu masyarakat yang sempurna (al-mujtami’ al- kamilah).

· Kedua, negara sesat (al-madinah al-dhalalah), yaitu negara yang berdiri congkak di atas kebodohan rakyat tentang kebenaran.

· Ketiga, negara rusak (al-madinah al-jahilah), yakni negara yang rakyatnya selalu mengikuti jalan kejahatan.

· Keempat, negara imoril (al-madinah al-al-fusqah), yakni negara yang rakyatnya telah mengenal kebenaran mengenai tuhan, akhirat, dan kebahagiaan sejati.

· Kelima, negara massa (al-madinah al-jami'ah). Dalam negara bentuk ini, rakyat cenderung serba bebas untuk berbuat semau gue.

Awal Agama Protestan (Martin Luther dan Gereja Calvinisme)

Gerakan Reformasi (Pembaharuan) yang dilakukan oleh Martin Luther bukanlah yang pertama kali terjadi di kalangan Gereja Katolik, sebab sebelumnya sudah ada gerakan-gerakan serupa. Calvinisme adalah sebuah sistem teologis dan pendekatan kepada kehidupan Kristen yang menekankan kedaulatan pemerintahan Allah atas segala sesuatu.[1] Gerakan ini dinamai sesuai dengan reformator Perancis Yohanes Calvin, sehingga kadang-kadang varian dari Kekristenan Protestan yang kadang-kadang disebut sebagai tradisi Hervormd, iman Hervormd, atau teologi Hervormd.


Al Ghazali (1058 M – 1111M)

Corak pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada masanya dan latar belakang keilmuannya yang mendunia. Hal yang menonjol dari sosok al-Ghazali adalah kepakarnnya dalam tasawwuf dan peningkatan spiritualitas. Di zaman al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan dan krisi ulama’. Kritik tajam Imam al-Ghazali pada ulama’ pada waktu itu adalah adanya ulama’-ulama’ yang terikat oleh ambisi duniawi. Ulama yang berfungsi sebagai penasihat penguasa tidak menjalankan misinya dengan baik.


Ibnu Rusyd (1123 M – 1198M)

Ibnu Rusyd sebagai seorang Rasionalis dan memiliki prinsip kebebasan aqal, menggunakan konsepsi kenegaraan yang dinamakan “Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam” (Republik8 dan Hukum). Kedua nama yang tersimpul dalam konsepnya itu, mengandung dua unsur penting sebagai perasaan perpaduan ilmu dan amal, pengetahuan dan pekerjaan yang dilaluinya. Dalam pengembangan pikiran kenegaraan Ibnu Rusyd terkenal sebagai demokrat yang tulen, karena dia merupakan penganjur pikiran merdeka. Mardeka berfikir, Mardeka berbuat. Tegaknya pikiran secara bebas adalah ciri yang khas dari demokratis, tetapi pikiran bebas yang dikehendaki oleh Ibnu Rusyd bukanlah suatu kebebasan yang liar yang tidak mengikuti aturan. Kebebasan pikiran itu haruslah selaras dan sejalan dengan agama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam kehidupan kenegaraan.


Ibn Taimiyah (1262 M – 1328M)

pemikiran politik Ibn Taimiyah yang menitikberatkan pada urgensi politik dalam agama dan juga tentang islamisasi dalam politik. Menurutnya, inilah proyek Islam yang sesungguhnya. Ia beranggapan bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan pengikutnya agar senantiasa melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, termasuk kewajiban-kewajiban lain yang telah ditetapkan Tuhan seperti Shalat berjamaah, Zakat, Haji, Hudûd dan menegakkan keadilan benar-benar tidak dapat teraplikasi kecuali melalui jalan pencapaian kekuasaan dan otoritas pemimpin/imam.

Terkait dengan tugas yang diemban sebagai pemimpin/imam, maka sudahlah barang pasti bahwa pemimpin tersebut haruslah menegakkan amanat, karena jabatan pemimpin tersebut adalah amanat, dan karena amanat itulah maka seorang pemimpin tidak boleh bersikap dhalim. Ia harus berpegang teguh pada hudûd al-Syar‘iyyah yang berlaku pada seluruh lapisan masyarakat.

Atas adanya urgensi kepemimpinan dan politik ini, Ibn Taimiyah mengkultuskan bahwa agama dan politik sangat terkait. Doktrin agama tidak dapat berjalan dengan baik tanpa didasari oleh sistem politik, dan politik tidak dapat memberikan aturan kenegaraan yang baik jika tidak dilandasi oleh agama. Tentu saja ini juga memberikan gambaran lain kepada kita akan dua eksistensi yang saling terhubung, yakni agama dan negara. Ia mengatakan,”Karena itu, sudah saatnya untuk mempertimbangkan keamiran sebagai salah satu bentuk beragama, yakni satu posisi yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.”


Badr Al Din Ibn Jama’ah (1244M-1333M)

Pemikiran Badr Al Din Ibn Jama’ah menyatakan bahwa terdapat teori yang mendasari pergerakan politik Islam, Pan Islamisme yang merupakan politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936) mengingkuti paham yang tertulis dalam al-a'mal al-Kamilah dari Jamal-al-Din Afghani Kemudian berkembang menjadi gerakan memperjuangkan untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam yang umumnya disebut kekhalifahan.


Zaman Renaisans

1350-1600

Renaisans


Niccolo Machiaveli (1469M-1527M)

Inovasi Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika.

Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.

Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.


Jean Bodin (1576)

seorang filsuf politik Perancis, memperkenalkan istilah “ilmu politik” (science politique). Tetapi karena ia seorang pengacara, pandangannya tentang “ilmu politik” terkait dengan organisasi dari lembaga yang mempunyai sangkut pautnya dengan hukum.


Jamaluddin Al Afghani (1883M-1897M)

Al Afgani menyatakan bahwa teori pemikiran politik Islam dapat didasari dengan dua teori yaitu :

Pan Islamisme yang merupakan politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936) mengingkuti paham yang tertulis dalam al-a'mal al-Kamilah dari Jamal-al-Din Afghani Kemudian berkembang menjadi gerakan memperjuangkan untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam yang umumnya disebut kekhalifahan.

Islamisme sebagai paham politik alternatif dalam menyatukan negara-negara termasuk di daerah Mandat Britania atas Palestina yang mempunyai akar budaya dan tradisi yang berbeda dengan budaya dan tradisi Arab dalam tulisan di majalah al-'Urwat al-Wuthqa.

Pembaharuan pemikiran yang dimunculkan Jamaluddin al-Afghani adalah :

1) Untuk mengembalikan kejayaan umat Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan memahami Islam harus dengan rasio (pemikiran yang masuk akal) dan kebebasan.

2) Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.

3) Kepala negara harus tunduk kepada undang-undang.

4) Kemunduran umat Islam dalam bidang politik disebabkan karena terjadinya perpecahan dalam umat Islam itu sendiri.

5) Tidak ada pemisahan antara agama dan politik.

6) Pan-Islamisme atau rasa solidaritas antara umat Islam harus dihidupkan kembali.

Zaman Modern

Thomas Hobbes(1640-1695)

Perkembangan ilmu pengetahuan mempengaruhi pula cita politik manusia abad akal. Thomas Hobbes berpendapat bahwa segala sesuatu di dunia ini termasuk manusia terdiri dari bagian yang bergerak menurut hukum mekanisme yang telah pasti. Menurut Hobbes apapun di dunia ini termasuk masalah manusia masyarakat dan negara akan dapat dipahami sesempurna- sesempurnanya oleh akal manusia sebagaimana memahami suatu mekanisme, tulisan hobbes yang berjudul leviathan atau humman wealth common menunjukkan pengaruh bahwa manusia dan pergaulan hidup sebagai suatu mekanisme serta manusia yang penuh rasa takut dan hanya bertindak berdasar kepentingan sendiri.

Pemikiran hobbes yang penting adalah mengenai perjanjian pertama (perjanjian masyarakat, kontrak sosial, social contract) atas pertimbangan kehidupan manusia mendorong manusia mengadakan perjanjian dengan yang lain untuk menyerahkan segera kekuatan dan kekuasaannya kepada seseorang dan atau majelis.


Muhammad Abduh (1849M-1905M)

Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis.

menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.

Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan

(2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain

(3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.

Karl Marx (1818M-1883M)

Adanya perubahan cara berfikir dalam masyarakat dengan memakai logika atau akal sehat, tujuannya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

· Borjuis (penguasa)

· Proletar (bawahan)

Pemikirannya ditekankan pada bidang ekonomi politik. Secara garis besar Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Marx yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Dengan bekerja seperti itu mereka menghasilkan apa yang meraka inginkan yang memungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. Dengan kata lain manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Mereka perlu berkerja sama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.

Teori Marx tentang Negara dan masyarakat, berpendapat bahwa bentuk Negara itu tidak selamanya ada. Menurutnya sejarah manusia sesudah terbentuknya Negara memperlihatkan empat tingkatan produksi yaitu; produksi berdasar perhambaan, feodalisme, produksi kapitalis atau borjuis, dan produksi sosialisme.

Istilah komunisme mengandung dua pengertian. Pertama, ada hubungannya dengan komune (commune), satuan dasar bagi wilayah Negara itu sendiri sebagai federasi dari komune-komune itu. Kedua, menunjukkan milik atau kepunyaan bersama. Pengertian pertama erat hubungannya dengan serikat-serikat rahasia dan serikat-serukat yang hidup terbuang. Marx dan Engels pun menamakan tulisan pedoman mereka Manifesto Komunis untuk memberikan pengertian perjuangan yang revolusioner sambil memperlihatkan kemauan untuk “bersama”, bersama dalam hal milik dan dalam hal menikmati sesuatu.


Rasyid Ridha (1865 M)

Sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama.

lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20.

Max Weber (1864M-1920M)

Max Weber dikenal dengan teori ideal typus, yaitu suatu konstruksi dalam fikiran peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam masyarakat. Ajaran-ajaran Max Weber amat menyumbang perkembangan sosiologi, misalnya analisisnya tentang wewenang, birokrasi, sosiologi agama, organisasi-organisasi ekonomi dan seterusnya.

Teori pemikiran Weber :

a. Tindakan sosial adalah tindakan tanpa makna, tindakan umumnya adalah :

· Zwekk Rational

· Wert Rational

· Tindakan yang didasarkan pada emosi

· Tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan

b. Tipe ideal adalah konstruksi analisis sebagai tonggak ukur untuk mengetahui dan penyimpangan dari yang ada dalam pokok-pokok persoalan.

c. Tipe wewenang birokrasi, 3 hal penting tentang legitimasi :

· Wewenang legal-rasional

· Wewenang tradisional

· Kharismatik


Feodalisme,

Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord).

Liberalisme

Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.

Konservatisme

Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante.

Sosialisme

Istilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan pertama kali untuk menyebut pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Perancis, istilah ini mengacu pada para pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 yang dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l'Encyclopédie Nouvelle[1]. Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite.

Komunisme

Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut faham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifes politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik.

Fasisme

Fasisme adalah, gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan terciptanya "manusia baru" yang ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan keluarga termasuk. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara.

Demokrasi

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata (dêmos) "rakyat" dan (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.


Ali Abd. AL Raziq (1888M-1966 M)

Dalam definisi umum modernisasi politik terkandung tiga tema besar, yaitu :

(1) Penekanan pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik.

(2) Penekanan atas persamaan, kekuasaan, gagasan bahwa perkembangan politik melibatkan partisipasi massa dalam masalah-masalah poliitk.

(3) Penekanan pada perluasan kapasitas dari suatu sistem politik untuk mengarahkan perubahan sosial dan ekonomi.


Ketiga tema itu bergaung keras di negeri-negeri Muslim yang sedang mencari identitasnya. Dilema pun muncul di sekitar tema-tema itu. Jika diferensiasi membuat pemisahan lembaga politik dari struktur agama, maka diktum bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari agama telah dipupus. Jika agama dan lembaga-lembaganya (ulama, pemimpin agama) menjadi alat untuk membawa massa pada proses politik maka keabsahan proses politik massal itu pun dipertanyakan. Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami, namun tidak muncul secara formal: memahami pluralisme.


Hasan Al Bana (1906M-1949 M)

Hasan Al-Banna (Mursyid ‘Aam pertama jamaah ikhwan) pernah memaparkan konsepsi politik ketika berbicara mengenai hubungan antara Islam dengan politik dan sikap seorang muslim terhadapnya. Beliau berpendapat bahwa: “ politik adalah hal yang memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat. Ia memiliki dua sisi: internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan sisi internal politik adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan. Sedangkan yang dimaksud dengan sisi eksternal politik adalah “ memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya.

Dalam proses pembangunan kembali umat, Hasan Al-Banna menyimpulkan adanya lima babak yang akan dilalui. Kesimpulan ini berangkat dari analisa sejarah perjalanan bangsa-bangsa dan upaya memahami arahan-arahan Rabbani (taujihat rabbaniyah). Antara lain :

1. Kelemahan (adh-dho fu).
2. Kepemimpinan (az-zuaamah).
3. Pertarungan (ash-shiraa u)
4. Iman (Al-Iman)
5. Pertolongan Allah (Al-Intishar)


Abu Al-Ala AL Maududi (1903M-1979M)

Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat ., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi. Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi.

teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah).


Islamisasi Ilmu Sosial

Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.

Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.

Zaman Kontemporer


Neomodernisme Islam

Term neo-Modernisme Islam dipopulerkan oleh Fazlur Rahman intelektual Islam berkebangsaan Pakistan yang dimaksudkan untuk menamai sebuah gerakan intelektual yang memiliki sintesis progresif dari rasionalitas Modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Dalam menjelaskan posisi neo-Modernisme Islam dalam sejarah dan wacana Islam, Rahman mengklasifikasi dan membagi gerakan intelektual Islam ke dalam empat tahap dan posisi,(1) Gerakan Revivalis di akhir abad ke 18 dan awal abad 19 (seperti gerakan Wahabiayah di Arab) (2) Gerakan Modernis (tokoh-tokohnya antara lain Sayyid Ahmad Khan, Jamal al-Din al-Afgani, dan Muhammad Abduh) (3) Neo-Revivalisme (yang “modern” tapi agak reaksioner, di mana Maududi dan jama’at Islami-nya di Pakistan merupakan contoh terbaik), dan terahir (4) Neo-Modernisme di mana Rahman sendiri memasukkan dirinya ke dalam mazhab terahir ini.

Istilah neo-Modernisme kemudian digunakan oleh Greg Barton dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia untuk menamai gerakan inetelektual baru Islam Indonesia di era 70-an dan 80-an serta memasukkan Caknur dan Gusdur ke dalamnya. Barton melihat gagasan-gagasan intelektual baru selaras dan setingkat dengan pikiran Rahman yang ia sebut neo-Modernisme. Selain itu, Barton melihat perbedaan-perbedaan mendasar dari intelektual baru dengan modernisme lama, terutama dalam sintesa-sintesa progresif dari dialog antara Islam, tradisi, dan modernitas. Karena itu istilah neo-Modernisme, oleh Barton, juga digunakan untuk membedakan intelektual baru dengan Modernisme lama.


Islamologi Terapan

Islamologi terapan merupakan suatu praktik ilmiah pluridisipliner. Dia mengandung sifat setia kawan. Baik pada keberhasilan maupun pada kegagalan-kegagalan dalam pemikiran semasa. Fenomena Islam berhubungan dengan peristiwa berkembangnya sebuah sabda (parole) menjadi Kitab. Karena itu, seorang Islamolog sebenarnya adalah seorang linguis dalam arti yang murni, bukan sebagai cabang dari ilmu-ilmu yang lainnya. (Saefuddin, 2003: 181)

Maka proyek thinking Islam pada dasarnya merupakan jawaban terhadap dua kebutuhan utama: (1) kebutuhan khusus masyarakat-masyarakat Muslim untuk berpikir, untuk tahap pertama, tentang problem mereka sendiri yang telah dibuat tak terpikirkan (tak mungkin di pikirkan) akibat kemenangan pemikiran skolastik ortodoks; (2) kebutuhan pemikiran kontemporer pada umumnya untuk membuka lapangan baru dan menemukan horison pengetahuan baru, melalui suatu pendekatan sistematis yang lintas kultural, menuju probelem fundamental keberadaan manusia. (Arkoun dalam Kurzman, 2003: 352).


Tradisionalisme Islam

Gerakan TradisonalismeIslam yang diidekan dan dikembangkan nasr, merupakan gerakan untuk mengajak kembali ke ‘akar tradisi’; yang merupakan Kebenaran dan Sumber Asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan anatar sekuler (Barat) dengan dimensi ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama. Tradisionalisme Islam adalah gambaran awal sebuah konsepsi pemikiran dalam sebuah bentuk Sophia Perenneis (keabadian). Tradisonalisme Islam boleh dikatakan juga disebut sebagai gerakan intelektual secara unversal untuk mampu merespons arus pemikiran Barat modern (merupakan efek dari filsafdat modern) yangcenderung bersifat profanik, dan selanjutnya untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut dengan gerakan Fundamntalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan kelompok-kelompok fundamentalis lain.

Usaha Nasr untuk menelorkan ide semacam itu paling tidak merupakan tawaran alternatif sebuah nilai-nilai hidup bagi manusia modern maupun sebuah negara yang telah terjangkit pola pikir modern (yang cenderung bersifat profanik dengan gaya sekuleristiknya) untuk kemudian kembali pada sebuah akar tradisi yang bersifat transedental Sebagiman yang dipergunakan oleh para kelompok Traditonalis tema tradis menyiratkan sesuatu Yang Skaral, Yang Suci, dan Yang Absolut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar