Rabu, 27 April 2011

Apatisme Masyarakat Dalam Pemilu Terhadap Calon Elitis



Dalam suatu negara yang demokratis, pemilihan umum adalah suatu kegiatan yang secara rutin atau periodik dilaksanakan sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani rakyat, serta untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun seringkali dalam pemilihan umum yang terjadi di berbagai negara, kita melihat gambaran bahwa rakyat seperti kurang antusias mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini tercermin dari tingkat partisipasi rakyat, khususnya partisipasi pemilih yang rendah di tempat pemungutan suara (TPS) baik dalam pemilu legislatif, presiden maupun pilkada.

Pemilu adalah proses pemilihan seseoang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum.

Sejak reformasi, obral janji menjadi “booming”. Pemilihan legislatif, Pemilihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/Walikota selalu didahului obral janji. Selama masa kampanye rakyat miskin selalu menjadi sasaran obral janji. Jumlah suara rakyat miskin yang besar sangat dibutuhkan oleh semua calon. Jika nanti terpilih, calon berjanji meningkatkan taraf hidup rakyat miskin menjadi prioritas utama.

Obral janji menjelang pemilihan umum adalah hal yang wajar dan berlaku di seluruh dunia. Pada umumnya, janji yang diumbar berisi harapan akan kondisi yang lebih baik jika yang bersangkutan memperoleh suara signifikan, memperoleh kursi, atau menang dalam pemilu. Obral janji sering kita dengar dari para calon presiden dan wakil presiden pula.

Dalam konteks pemilu di Indonesia, proses penagihan janji kampanye sebenarnya sudah sering terjadi. Penagihan janji tersebut antara lain dilakukan masyarakat yang biasanya merupakan konstituen suatu partai politik dengan cara mendatangi langsung para wakil rakyat dari suatu daerah pemilihan. Menghadapi hal ini, para wakil rakyat ada yang bersikap elitis, namun ada juga yang justru responsif. Bagi yang responsif biasanya muncul jika janji yang dituntut itu tidak terlalu berat untuk dipenuhi. dilihat dari kualitas orang-orang yang maju menjadi peserta pemilu tersebut ditengarai tidak representatif dan tidak cukup mewakili kepentingan rakyat. Sikap elitis masih menaungi para calon yang coba merebut tangku kepemimpinan.

Banyak kalangan yang pesimis terhadap pemilu sehingga melahirkan gelombang apatisme terhadap pelaksanaan pemilu tersebut. Persis seperti yang dialami oleh masyarakat kita akhir-akhir ini ketika pemilihan umum semakin dekat. Hal ini memang sudah menjadi fenomena musiman menjelang pelaksanaan pemilu. Fenomena apatisme publik ini tak lepas dari pola perilaku elektoral rakyat Indonesia sendiri yang kerap kali terjebak dalam politik pragmatis. Politik pragmatis, menurut Aboeprijadi Santoso, tidak hanya menandai sikap sebagian rakyat, tapi justru menjadi ciri pula dari ego politisi partai ataupun kontestan pemilu yang mengejar jabatan lewat kemenangan dalam pemilu.

1. Para Calon yang elitis.

keberdaan calon pada pemilu di indonesia masih terkesan elitis. Buktinya, untuk menyapa warga dengan sikap merakyat saja masih sangat minim dilakukan oleh para peserta Pemilu ini. Yang ada, mereka datang dengan kesan elit dan meninggalkan masyarakat yang didatangi dengan membekaskan sikap elitis.

kebanyakan peserta yang maju belum bisa memberikan kesan bahwa mereka membutuhkan rakyat sebagai post vote getter (Pemilih) yang menentukan kemana mereka akan berangkat, menjadi wakil rakyat yang dipilih rakyat atau menjadi wakil rakyat yang memaksa rakyat untuk memilihnya.

Kalau melihat fanomena gerakan para calon pesrta pemilu dalam melakukan kampanyenya kepada masyarakat, bukan kesan sosial sebenarnya yang ditunjukkan. Artinya, para calon ini ingin terlihat berjiwa sosial saja dan bukan sejak awal karakteristik sosialnya telah terbentuk. artinya, memang calon-calon yang ada tidak dapat meninggalkan gaya-gaya elitis untuk menarik simpatik rakyat.

Tidak dipungkiri, dalam melakukan kampanyenya, para peserta Pemilu ini akan menggunakan cara-cara pragmatisme, dalam hal ini akan memberikan sesuatu dengan harapan dapat dikatakan berjiwa sosial dan atau agar dipilih. Kalau seperti ini, bukankah sikap elitis masih ditunjukkan oleh para peserta dan tidak dapat mereka tinggalkan.

Maksud lebih luasnya, sikap elitis dari calon terpilih ini tidak akan menguat seperti apa yang berlaku belakangan ini dari hasil-hasil pemilihan umum sebelumnya. Dimana, ketika sudah duduk di kursi legislatif tidak bayak yang kembali kepada masyarakat dan lebih mementingkan golongannya yang elit dan mementingkan pribadinya yang elitis. Atau bahasa kasarnya, enggan bersentuhan kembali dengan masyarakat.

2. Golput sebagai Sikap apatis masyarakat terhadap pemilu.

Apatis adalah sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya. Orang-orang yang apatis menganggap kegiatan berpolitik sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga sama sekali tidak ada keinginan untuk beraktivitas di dunia politik. Sikap itu muncul karena ada sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memahami hakikat politik sesungguhnya.

Sikap apatis masyarakat terhadap politisi menjadi penyebab utama golput (golongan putih), golongan putih diartikan sebagai pilihan politik warga negara untuk tidak menggunakan hak pilih. Hal ini berkaitan dengan partisipasi politik.
Keinginan golput merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar, karena kenyataannya dari dulu mulai kampanye hingga pemilihan akhirnya semua tetap sama saja, sehingga adanya sebagian orang yang mengabaikan Pemilu

Kesadaran politik berarti sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah lebih kepada penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah pemerintah dapat dipercaya atau tidak. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah yang tinggi, partisipasi politik cenderung aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran dan kepercayaan rendah terhadap pemerintah, partisipasi politik cenderung pasif dan tertekan (apatis).

Salah satu alasan yang menyebabkan sikap apatis pada masyarakat umumnya adalah dengan adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal sia-sia karena tidak pernah efektif. Pola pikir masyarakat melihat elite politik yang senantiasa selalu membodohi masyarakat.

Masyarakat yang mempunyai pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik, baik tingkat pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan perubahan sosial politik bagi perbaikan nasib rakyat banyak.
Masyarakat yang umumnya ada perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan dan cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh dan untuk orang lain, jadi merasakan dan memandang berbagai kebijakan elit politik atau pemerintah tidak lagi bersesuaian dengan sikap dan pemikiran politiknya atau kepentingan rakyat banyak.

Masyarakat memandang elite politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Hal ini bisa dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa. Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti sekali dengan politik tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi elit politik.

Golput muncul karena berdasarkan bahwa keberadaan pemilu dan aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih. Hal ini terjadi ditengah masyarakat yang terjebak pada apatisme. Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya yang efektif. Golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung mendorong masyarakat apatis. Kondisi ini bisa menciptakan rendahnya legitimasi pemerintah serta mendorong munculnya masyarakat yang antipati terhadap perkembangan politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-sarana politik formal yang ada saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar