Rabu, 07 April 2010

Isu Sentral Pasca Perang Dingin

Menurut Juwono Sudarsono (1996), secara resmi apa yang dikenal sebagai Perang Dingin berakhir pada kurun waktu 1989-1990 dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada 3 Oktober 990. Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara.

Selama kurun waktu yang panjang itulah isu-isu seperti pertentangan ideologis, perebutan wilayah pengaruh, pembentukan blok militer, politik bantuan ekonomi yang dilatarbelakangi kepentingan ideologis, spionasi militer dan pembangunan kekuatan nuklir menjadi tema-tema penting. Oleh karena itu di tengah pertentangan Blok Timur dan Barat itulah muncul apa yang disebut Negara Non Blok. Indonesia menjadi salah satu pelopor berdiringa Gerakan Non Blok yang banyak menarik perhatian negara-negara yang baru merdeka sesudah 1945. Cina meskipun tergolong negara besar dan memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, namun menjadi salah satu anggota GNB hingga kini.

Berakhirnya Perang Dingin ditandai dengan:

Kegagalan ideologi komunis dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat

Perubahan politik luar negeri yang tidak lagi mengutamakan ideologi komunis

Keruntuhan negara-negara komunis selama1988. Blok Timur sejak September yaitu Polandia, Jerman Timur, chekoslowakia, Bulgaria, Hungaria dan akhirnya Rumania pada 15 Desember 1988.

Adanya transformasi sistem internasional dari bipolaritas menuju multipolaritas, khususnya dalam bidang ekonomi dan politik.

Terbuka peluang tercipta perdamaian antarnegara dari berbagai konflik, ditandai dengan diruntuhkannya Tembok Berlin pada 11 November 1989 yang kemudian disusul dengan reunifikasi Jerman Barat dan Timur.

Berakhirnya konflik-konflik besar seperti konflik Uni Soviet-China, Uni Soviet-Jepang, China-Jepang untuk kawasan Pasifik

Dalam hal proliferasi nuklir, kekuatan politik dunia masih berpola multipolar. AS berhadapan dengan kekuatan penyeimbang, RRC, Korea Utara, India, Pakistan, Irak dan sebagainya.

Dilihat dari jumlah aktor internasional yang berpotensi sebagai “pengatur” sistem internasional maka polarisasi kekuatan politik internasional pasca Perang Dingin bersifat multipolar. Dilihat dari segi fungsi riil pengaturan mekanisme sistem politik internasional maka polarisasi yang terjadi adalah no-polar system.

Berakhirnya Perang Dingin, melahirkan realitas baru dalam perhatian negara besar dan negara yang bekas komunis. Isu-isu utama yang menjadi pilar hubungan internasionalpun mengalami pergeseran. Meskipun isu lama yang menyangkut keamanan nasional dan pertentangan masih tetap berlanjut namun tak dipungkiri adanya perhatian baru dalam tata hubungan antar negara dan antar bangsa.

Menurut Juwono, sedikitnya ada empat isu yang jadi sorotan baru. Pertama, pada era pasca Perang Dingin, perhatian lebih difokuskan pada usaha memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menghadapi lingkungan internasional yang belum jelas.
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia ini menyebutkan, lingkungan internasional sekarang lebih kabur, lebih tidak menentu dan lebih mengandung kompetisi meraih akses pada ilmu, modal dan pasar di negara-negara kaya.

Setiap negara khususnya negara maju berlomba-lomba berusaha meningkatkan eksistensinya dalam meraih akses pada ilmu, modal dan pasar. Pada masa ini terjadi transisi global dan berimbas pada hubungan internasional, hubungan internasional menjadi gambang dan tak jelas. Setiap negara dalam menjalin hubungan internasional menjadi tak jelas tujuanya. Apakah untuk kepentingan politik atau memiliki tujuan lainya dalam meningkatkan eksistensi dalam mencari keuntungan sepihak.

Antara tujuan dan realita hubungan internasional jauh berbeda. Hal ini merupakan salah satu kelemahan mengapa hubungan hubungan internasional lebih tidak jelas dan cendrung mengandung unsur kompetisi. Bagi negara berkembang, lingkungan internasional yg tidak menentu ini memiliki dampak yang signifikan dimana antara negara-negara berkembang juga berusaha untuk berkompetisi meningkatkan hubungan dan kerjasama internasional guna meningkatkan eksistensi di dunia internasional yang juga mengandung tujuan tertentu demi kemajuan dan kepentingan negaranya.

Isu kedua pasca perang dingin menurut juwono dan merupakan sorotan lama tapi sekarang muncul ke permukaan yakni soal keamanan regional. Fenomena di Asia Tenggara dengan prakarsa ASEAN mengukuhkan zona bebas nuklir termasuk salah satu ciri dimana keamanan regional penting bagi kawasan ini.

ZOPFAN (Zone of Peace Freedom and Neutrality) merupakan agenda poli­tik dan keamanan regional yang paling penting negara-negara di kawasan ASEAN untuk merancang dan mempertahan­kan suatu tatanan regional yang mereka ciptakan sendiri. Dengan demikian ZOPFAN tidak semata-mata sebagai upaya untuk mem­bebaskan diri dari persaingan negara-negara be­sar, tetapi juga untuk memungkinkan negara-negara di lingkungan ini memikul tanggung jawab bagi keamanan mereka bersama.

Dengan berakhirnya Uni Soviet dan konfrontasi global tentang ideologi dan politik, tidak ada lagi kekhawatiran-kekhawatiran yang menjadi penghalang bagi ZOPFAN. penghalang utama realisasi ZOPFAN adalah perbedaan pendapat yang masih terjadi antara para anggota ASEAN sendiri. kurangnya dukungan terhadap ZOPFAN dari beberapa negara ASEAN lainnya, menunjukkan kecurigaan mereka ter­hadap negara anggota yang lebih besar, terutama Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika belakangan muncul tuntutan yang semakin gencar dalam mewujudkan ZOPFAN dan Zona Bebas Senjata nuklir di Asia Tenggara.

Ketiga, sorotan dunia jatuh kepada masalah ekonomi-politik internasional. Isu ini sebenarnya telah bangkit sekitar 1971-1972 ketika sistem Bretton Woods runtuh pada saat kebangkitan ekonomi Jerman dan Jepang mulai menganggu pasar AS. Jika disorot lebih dalam, pembentukan blok-blok ekonomi bisa dikatakan sebagai akibat dari menguatnya isu ini.

Dengan adanya perang dingin ini maka berbagai bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Eropa Timur dan Eropa Barat tidak dapat terjalin. Kegiatan tersebut terhambat karena negara-negara Eropa merasa kawatir jika suatu saat wilayahnya akan dijadikan sasaran adu kekuatan oleh kedua negara adikuasa tersebut. Dampaknya perekonomian antara blok barat (negara-negara Eropa Barat) dan blok timur (negara-negara Eropa Timur) tidak seimbang dimana negara-negara blok barat jauh lebih maju daripada blok timur.

AS sebagai negara kreditor terbesar memberikan pinjaman atau bantuan ekonomi kepada negara-negara yang sedang berkembang berupa Marshall Plan. AS juga memberikan bantuan ”Grants in Aid” yaitu bantuan ekonomi dengan kewajiban mengembalikan berupa dollar atau dengan membeli barang-barang Amerika Serikat. Bagi negara-negara di Asia Presiden Truman mengeluarkan “The Four Points Program for the Economic Development in Asia” berupa teknik dalam wujud perlengkapan-perlengkapan ekonomis atau bantuan kredit yang berasal dari sektor swasta di Amerika Serikat yang disalurkan oleh pemerintah kepada Negara-negara yang sedang berkembang.

Menurut Juwono, perhatian keempat terpusat pada apa yang dinamana sebagai “3 in 1” yakni lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Dibandingkan dengan tiga tema di atas, isu ini sangat dominan dalam pemberitaan pers internasional. Bahkan dalam setiap konferensi dan pertemuan puncak, masalah ini tidak jarang disinggung terutama ketika negara-negara industri menyoroti negara-negara yang sedang berkembang.

Bilhari Kausikan (1993), Direktur Biro Asia Timur dan Pasifik di Kemlu Singapura sudah meramalkan bahwa isu HAM telah menjadi isu yang legitimate dalam hubungan antar negara. Ia menyatakan, bagaimana sebuah negara memperlakukan warga negaranya tak lagi masalah eksklusif sebuah negara.

Namun demikian, penekanan Barat terhadap HAM akan mempengaruhi nada dan tekstur hubungan internasional pasca Perang Dingin. Menurut Kausikan, isu-isu HAM menyangkut soal upah, kondisi bekerja, serikat buruh, standar hidup, hak-hak wanita dan anak-anak, hiburan dan waktu cuti, keamanan dan tunjangan sosial serta lingkungan. Ia melihat telah terjadi pemaksaan dari Barat untuk menentukan standar HAM.

Sedangkan Aryeh Neier, Direktur Human Rights Watch, menyebutkan lebih spesifik nilai-nilai HAM yang disebarkan di seluruh dunia. Ia antara lain menyinggung soal hak setiap orang bebas dari hukuman tak adil dan arbitrari, persamaan ras, etnik , agama atau gender. Hal-hal ini ikut menentukan pola hubungan antar negara.

Hasjim Djalal dalam tulisannya Indonesian Foreign Policy at the Afvent of 21st Century menyebutkan, The Problem of democratization and human rights will also become more prominent and their impact on foreign policy cannot be ignored. Analisa Djalal itu menunjukkan bahwa masalah yang menyangkut hak asasi manusia, dari sudut manapun ditinjaunya, akan memberikan dampak terhadap politik luar negeri suatu negara. Hal itu juga berarti bahwa kontak satu entitas politik dengan entitas lainnya akan mendapat bobot soal HAM.

Dalam kasus HAM dan juga demokratisasi sebagai contoh dapat dilihat bagaimana Uni Eropa dan Amerika Serikat bersikap terhadap Myanmar. Negeri yang pernah melakukan pemilu tahun 1990 yang dimenangkan Liga untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi ini terpaksa harus hidup dalam situasi darurat terus menerus.Untuk menjaga keadaan darurat itu, militer Myanmar membentuk apa yang dinamakan Dewan Pemulihan Hukum Negara dan Ketertiban (State Law and Order Restoration Council). Sampai tahun 1997, SLORC masih bertahan atas nama ketertiban negara. Melalui Konvensi Nasional sedang disusun konstitusi yang kemudian akan melahirkan pemilihan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar