Senin, 30 Mei 2011

lembaga swadaya masyarakat

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi ikon dalam proses transformasi masyarakat akhir-akhir ini. Perannya tidak diragukan lagi, turut serta dalam proses pemberdayaan masyarakat. Melalui perspektif sejarah, dapat ditelusuri bahwa cikal-bakal LSM di Indonesia telah ada sejak pra kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya sosial/amal (dapat dikategorikan generasi pertama). Tahun 50-an muncul LSM yang kegiatannya bersifat alternatif terhadap program pemerintah, dua pelopornya adalah LSD (Lembaga Sosial Desa) dan Perkumpulan Keluarga Kesejahteraan Sosial. Budi Utomo dan Serikat Islam juga dapat dikategorikan sebagai LSM yang mempunyai visi turut serta mewujudkan kemandirian masyarakat yang lebih tinggi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.

Istilah “non-governmental organization” digunakan sejak berdirinya PBB pada tahun 1945, tepatnya pada pada Piagam PBB Pasal 71 Bab 10 tentang peranan konsultatif non-governmental organization. Awalnya istilah ini digunakan untuk membedakan antara hak partisipatif badan-badan pemerintah (intergovernmental agencies) dan organisasi-organisasi swasta international (international private organizations).

Sejak pertengahan 1970-an, sektor NGO di negara maju dan negara berkembang telah mengalami pertumbuhan yang berlipat ganda. Dari 1970 hingga 1985 total bantuan untuk pengembangan yang diberikan oleh NGO internasional telah meningkat 10 kali lipat. Pada tahun 1992 NGO internasional menyalurkan lebih dari $7.6 miliar bantuan untuk negara-negara berkembang. Saat ini diperkirakan lebih dari 15% dari total bantuan dunia untuk pengembangan disalurkan melalui NGO.

Makin meningkatnya pendidikan dan tingkat pendapatan, terutama ketika terjadi ketidakpuasan di lapisan masyarakat, mulai timbul gejala baru dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Dalam sejarah Barat, partisipasi itu timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yg gelisah. Gejala itulah yg dilihat oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis dalam kunjungannya ke Amerika pada tahun 30-an abad ke 19 yakni timbulnya perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association).

Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara (as a counter-weights to state power). Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut yaitu :

· Pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya.

· Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat daripada menggantungkan diri pada prakarsa negara.

· Ketiga, menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operative ventures) dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolatif) serta membangkitkan tanggung jawab sosial yg lebih luas.

Perjalanan LSM di Indonesia sekitar tahun 1970-an disebut sebagai ORNOP yang merupakan terjemahan dari NGO. Ornop/NGO bisa merupakan satu lembaga bisnis (swasta), organisasi profesi, klub olah raga, kelompok artis, jama'ah aliran agama, lembaga dana, yang penting semua organisasi yang bukan pemerintah. Interaksi antar kelompok ORNOP ini mempengaruhi tatanan sosial politik masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing memperjuangkan kepentingannya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai wasit (yang adil).

Segala sesuatu dimulai dari masyarakat dalam suasana yang hampir-hampir bebas dari intervensi negara. Istilah ORNOP kemudian dirubah menjadi LSM karena di satu sisi, adanya kesan dan anggapan bahwa istilah ORNOP memiliki konotasi negatif seakan-akan melawan pemerintah (jaman ORBA alergi sekali dengan yg berbau oposisi, atau non-pemerintah). Di lain pihak, dalam kalangan aktivisnya saat itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka ini dilandasi oleh suatu misi positif, yakni mengembangkan kemandirian dan membangun kesadaran, tidak semata-mata "bukan pemerintah/non government".

Pergeseran ORNOP menjadi LSM sebenarnya menimbulkan perbedaan arti, landasan ORNOP adalah untuk "non governmentalism", sedangkan LSM adalah "auto governmentalism" dengan kata lain yang dibangun oleh LSM bukan "non kepemerintahan" tetapi keswadayaan dan kemandirian. Penggantian istilah ORNOP menjadi LSM sesungguhnya telah memberikan perbedaan makna yang sangat mendasar.

Formalisasi dilakukan pemerintah terhadap LSM melalui UU. No. 4 tahun 1982 tentang pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (kemudian diatur pula dgn UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan, dan Inmendagri No. 8 tahun 1990). Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982 disebutkan : "Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan Lingkungan Hidup", sedangkan dalam penjelasannya LSM mencakup antara lain:

· Kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan

· Kelompok hobi yang mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya

· Kelompok minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup.

Dewasa ini keberadaan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat mewarnai kehidupan politik di Indonesia. Diperkirakan saat ini lebih dari 10.000 LSM beroperasi di Indonesia baik ditingkat nasional, propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, dimana dari tahun ketahun jumlah ini semakin bertambah. Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan teknologi informasi merupakan faktorfaktor yang mendorong terus bertambahnya jumlah LSM di Indonesia Bergulirnya era reformasi menggantikan era orde baru dikuti pula dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar 4000-7000 LSM, maka pada tahun 2002 jumlah LSM menurut Departemen Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM.

Iklim segar yang dibawa oleh angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas dalam upaya-upaya penyaluran aspirasi. Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang.

Dominasi pemerintah pada masa orde baru yang dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol yang bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol masyarakat melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial dengan dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis oleh tuntutan-tuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap masyarakat dan dilain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan bidang-bidang lainnya.

LSM mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk munculnya civil society .Konsep mengenai civil society sendiri dapat diartikan sebagai suatu tatanan sosial atau masyarakat yang memiliki peradaban (civilization) dimana didalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan berdasarkan berbagai ikatan yang sifatnya independen terhadap negara.

Kegiatan masyarakat sepenuhnya bersumber dari masyarakat itu sendiri, sedangkan negara hanya merupakan fasilitator. Akses masyarakat terhadap lembaga negara dijamin dalam civil society, artinya individu dapat melakukan partisipasi politik secara bebas. Warga Negara bebas mengembangkan dirinya secara maksimal dan leluasa dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan bidangbidang lainnya.

Menurut Einstadt dalam Afan Gaffar civil society memiliki empat komponen sebagai syarat yaitu:

· Otonomi

· akses masyarakat terhadap lembaga Negara

· arena publik yang bersifat otonom dan keempat

· arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat

Berdasarkan komponenkomponen tersebut, civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial politik. dan kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi adalah LSM dan media massa. LSM memiliki tingkat keleluasaan bergerak, serta kebebasan dan kemandirian yang cukup tinggi yang dapat dijadikan sumber daya politik yang potensial dalam menyiapkan civil society. Dalam artian civil society sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat.

Kekuasaan Negara dibatasi didalam ruang publik oleh partisipasi politik masyarakat dalam rangka pembentukan kebijaksanaan publik. Dalam konteks ini LSM cukup potensial ikut menciptakan civil society karena dengan kemampuannya yang mampu mengisi ruang publik.