Jumat, 07 Januari 2011

masalah pokok desentralisasi fiskal

Desentralisasi fiskal, yang merupakan penyerahan kewenangan di bidang keuangan antar level pemerintahan yang mencakup bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah besar dana dan/atau sumber-sumber daya ekonomi kepada daerah untuk dikelola menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Bagi daerah, desentralisasi fiskal berfungsi untuk menentukan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Undang-undang nomor 22 tahun 1999 mengatur desentralisasi (pelimpahan wewenang dan tanggung jawab) di bidang administrasi dan di bidang politik kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan, pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip “money follows function” yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999. Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer personal (Pegawai Negeri Sipil) yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah, prinsip “money follows function”, atau sebut saja penggunaan anggaran sesuai fungsinya, tidak mungkin berlangsung.

Kepastian mengenai jumlah alokasi dan mekanisme penyaluran akan menjadi bahan pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan jenis dan tingkat pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Pada intinya, desentralisasi fiskal berupaya memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada penyerahan kewenangan dan sumber-sumber pendapatan yang memadai untuk memberikan pelayanan publik dengan standar yang telah ditentukan.

Tetapi pola desentralisasi fiskal yang hingga sekarang diterapkan di Indonesia masih terfokus pada otonomi pembiayaan, bukan pada otonomi pendapatan. Sekalipun daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri tetapi ada pengecualian terhadap ekplorasi SDA. Oleh karena itu, pola transfer keuangan dari pusat ke daerah masih menjadi elemen penting untuk menunjang kapasitas keuangan daerah. Maka timbul permasalahan-permasalahan yang cukup penting. contoh permasalahan-permasalahan pokok desentralisasi fiskal saat ini yaitu :

1. Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. (DAU).

2. Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak mendorong pemda mengarahkan dana itu untuk peningkatan pelayanan masyarakat.

3. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka 3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006.

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI FISKAL:4. Pos pengeluaran paling besar untuk Pemda adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasi yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk sektor-sektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pendidikan, pertanian, dan infrastruktur

GOOD GOVERNANCE


Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatiof dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.” Terjemahan dalam bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial.

Konsep good governance yang dianjur-anjurkan oleh lembaga-lembaga donor internasional tersebut kemudian berubah akibat pengaruh Amerika Serikat yang menggunakan globalisasi untuk menebarkan sistem pasar bebas ke segala penjuru dunia. Sejak itu good governance diartikan sama dengan less government. Semua kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan masyarakat di negara dapat dipenuhi lebih baik bila campur tangan pemerintah tidak terlalu dominan. Berubahlah good governance menjadi best government adalah less government.

Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yanbg diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance). Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance?

Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita cita-citakan amat memerlukan Good Governance seperti yang dikonsepsualisasikan oleh IIAS. Pengembangan good governance tersebut harus menjadi tanggungjawab kita semua. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena itu pembangunan good governance dalam menuju Indonesia Masa Depan harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai warganegara dalam peneyelenggaraan pemerintahan.

Kekuatan eksternal kedua yang dapat “memaksa” timbuilnya good governance adalah dunia usaha. Pola hubungan kolutif antara dunia usaha dengan pemerintah yang terlah bnerkembang selama lebih 3 dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan terbuka. Kunci untuk menciptakan good governance menurut pendapat saya adalah suatu kepemempinan nasional yang memiliki legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat. Karena itu mungkin Pemilu 2004 yang memilih Pimpinan Nasional secara langsung, adil dan jujur dapat menjadi salah satu jawaban bagi terbentuknya pemenyelenggaraan pemerintahan yang baik. Itu pun kalau Pemilu tersebut mampu memilih seorang yang kredibel, yang mendapat dukungan popular, dan yang visioner dan kapabel sebagai Presiden ke 6. Sayangnya harapan tersebut belum terealisasi, setahun setelah Presiden yang paling memiliki legitimasi terpilih.